Sunday, June 7, 2015

Sekolah Menulis bagi Kaum Sarungan

Sekolah Menulis bagi Kaum Sarungan

Suasana Sekolah Menulis Sanggat Kepoedang di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. (Foto: istimewa)
HARI itu, perpustakaan Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dipadati banyak pengunjung. Maklum Jumat adalah hari libur bagi para santri baik kalangan siswa maupun mahasiswa. Di dalam perpustakaan, mereka membaca buku-buku, berdiskusi, mengetik di komputer atau sekedar mencari informasi melalui koran dan majalah yang tersedia.
Ada sedikit yang berbeda. Beberapa orang dalam satu kelompok tampak duduk kompak sambil membawa peralatan tulis. Seorang mentor berada di depan mereka memberikan motivasi dengan semangat. Para peserta yang terdiri dari pria dan perempuan itu antusias mengikuti.
Mereka adalah peserta Sekolah Menulis Sanggat Kepoedang. Komunitas yang berdiri sejak 2013 ini dibuka tiga kali setiap tahunnya. Menariknya, para calon pendaftar selalu membeludak melebihi kapasitas yang disediakan.
"Ada dua kelas, yang pertama untuk kalangan pelajar tingkat SMP dan SMA. Dibuka untuk 20 orang tapi yang daftar bisa sampai 76 orang. Kedua, untuk para mahasiswa; disediakan 20 orang, yang daftar sampai 106 orang," ungkap Ahmad Faozan, pendiri sekaligus pengajar di Sekolah Menulis itu kepada Okezone, belum lama ini.
Dia mengaku mendapati beberapa kendala di masa awal pendirian Sekolah Menulis tersebut. Pria alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu merasa risih karena bergerak sendiri dan belum mengenal banyak orang. Namun, karena kegigihannya, secara perlahan perjuangannya membuahkan hasil. Dari segelintir orang yang belajar kepadanya kini menjadi komunitas yang dikenal luas.
"Setiap pesantren memang memiliki ciri khas masing-masing. Kami memilih menghidupkan budaya literasi yang meliputi tulis-menulis, membaca, menerbitkan dan mendiskusikan buku, karena memang para pendiri dan kiai pesantren ini juga merupakan penulis produktif," tutur Fao, demikian dia biasa disapa, dengan semangat.
Nama-nama kiai yang dia maksud adalah KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Fao ingin menghidupkan kembali tradisi para leluhur pesantren itu.
"Kini banyak orang mencari ilmu di media maya dengan bantuan Google. Nah, kalau bukan kita yang menulis, lalu siapa? Dari situlah kita harus bisa menulis. Toh, ulama yang berceramah sudah banyak tapi yang menulis buku bisa dihitung," ungkap pria asal Cilacap itu.
Untuk melancarkan visi dan misi Sekolah Menulis yang digagasnya, Fao didukung penuh oleh Pengasuh Pesantren, KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. Bahkan, semua biaya pun ditanggung oleh pihak pesantren. Jadi, dia dan para peserta tidak perlu iuran bersama lagi.
Para pengajar merupakan tokoh-tokoh terkenal yang sudah lama bergelut di bidang tulis-menulis. Sebut saja seperti Hernani Sirikit, pendiri Sirikit School of Writing Surabaya; Rojiful Mamduh, wartawanRadar Mojekerto; Mas’ud Adnan, Pemimpin Umum Harian Bangsa;Binhad Nurrohmat, penyair Jombang dan M Iqbal Dawami, editorfreelance serta pengajar lainnya.
Komunitas kaum bersarung ini juga kerap mengadakan acara bedah buku. Baru-baru ini mereka mengundang Abdullah Wong, penulis novelMata Sang Penakluk dan Subanudin Alwi penyair asal Cirebon penulis buku Jimat NU.
Demi keberlangsungan komunitas, mahasiswa yang sudah lulus dari sekolah menulis tiga bulan itu diminta mengajar adik-adiknya. Sedangkan mereka yang lulus dan masih menempuh pendidikan SLTP atau SLTA direkrut menjadi redaktur majalah Pena Santri yang terbit dwiwulan.
"Alhamdulillah, melalui komunitas ini banyak santri berprestasi baik tingkal lokal, kabupaten, provinsi juga nasional. Bahkan ada yang masuk dalam 10 besar lomba menulis yang diadakan Kementerian Agama RI," tutur Fao dengan bangga.
Selain berhasil mengantongi banyak juara, anak-anak Sekolah Menulis Sanggar Kepoedang juga rutin mengisi halaman media massa. Setiap Kamis mereka diberi ruang mengisi kolom tentang "Santri dan Pesantren" di Radar Mojokerto. Cerpen dan opini karya peserta senior, seperti Helmi Abdillah dan Lathifah, kerap mejeng di Jawa Pos sertaKompas.
Keberadaan Sekolah Menulis semacam ini diharapkan dapat menjadi contoh ribuan pesantren lain di Indonesia. Dengan begitu, kaum bersarung tidak hanya dikenal sebagai komunitas yang bisa mengaji, melainkan pandai menulis, gemar membaca, dan gandrung mendiskusikan buku.
(rfa)

No comments:

Post a Comment